Apa itu Atonia Uteri? Gejala, Penyebab, dan Penanganannya
Atonia uteri adalah masalah kesehatan yang terjadi setelah masa persalinan. Penyakit ini tidak terbatas pada hanya satu cara melahirkan. Ibu yang melahirkan secara normal maupun operasi Caesar bisa mengalaminya.
Atonia uteri terjadi ketika rahim gagal melakukan kontraksi setelah melahirkan. Jika tidak ditangani dengan tepat, atonia uteri bisa berakibat fatal bagi ibu. Penyakit ini merupakan penyebab paling sering dari pendarahan pasca melahirkan yang banyak dialami ibu hamil. Bisa dibilang, atonia uteri merupakan keadaan darurat.
Mengapa atonia uteri bisa terjadi? Bagaimana gejala dan penanganannya? Semua jawaban atas pertanyaan tersebut bisa kamu temukan di artikel tentang atonia uteri ini!
Gejala Atonia Uteri
Atonia uteri ditandai dengan pendarahan berlebihan yang terjadi pasca persalinan. Namun selain itu, ada pula gejala lainnya seperti berikut ini:
- Otot rahim rileks dan tidak berkontraksi setelah bayi lahir.
- Mengalami sakit punggung.
- Mengalami nyeri.
- Tekanan darah menurun.
- Detak jantung meningkat.
Penyebab Atonia Uteri
Atonia uteri adalah masalah yang perlu diketahui penyebabnya. Ini karena masalah ini berbahaya bagi ibu melahirkan.
Setelah melahirkan, ibu biasanya akan kehilangan banyak darah. Namun, masalah ini sudah diantisipasi oleh tubuh melalui kontraksi yang dilakukan otot-otot rahim pada dinding miometrium pasca melahirkan.
Kontraksi yang dilakukan otot tersebut bisa menghentikan pendarahan dari arteri spiralis yang memasok darah ke endometrium. Jika otot rahim berkontraksi, maka aliran darah berkurang dan koagulasi atau pembekuan darah meningkat.
Semua hal tersebut dilakukan agar ibu tidak terkena pendarahan hebat pasca melahirkan. Namun jika ibu mengalami atonia uteri, otot rahim tidak berkontraksi sebagaimana semestinya. Akibatnya, ibu berisiko terkena pendarahan hebat.
Faktor Risiko Atonia Uteri
Ibu yang memenuhi kriteria di bawah ini memiliki risiko terkena atonia uteri lebih besar:
- Melahirkan untuk yang pertama kalinya.
- Telah melahirkan 5 anak atau lebih.
- Mengalami persalinan panjang.
- Penggunaan obat-obatan pendorong persalinan yang berlebihan.
- Memiliki BMI (Body Mass Index) 40 ke atas atau lebih.
- Pernah mengalami atonia uteri sebelumnya.
- Memiliki rahim yang berukuran lebih besar dari kebanyakan orang.
- Memiliki terlalu banyak cairan ketuban.
- Mengandung janin dengan berat badan besar.
- Mengandung 2 janin atau lebih.
- Berusia 35 tahun atau lebih.
Penanganan Atonia Uteri
Penanganan atonia uteri dimulai dengan diagnosis dari dokter. Dokter akan mengira-ngira seberapa banyak darah yang keluar dari pembalut atau spons yang digunakan untuk menyerap darah. Selain itu, dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan tidak ada robekan pada rahim dan tidak ada plasenta yang tertinggal di rahim.
Jika diagnosis telah dipastikan, fokus utama dokter selanjutnya adalah menghentikan pendarahan dan menggantikan darah yang hilang.
Cara yang dilakukan dokter adalah sebagai berikut:
- Melakukan transfusi darah untuk menggantikan darah yang keluar dari tubuh.
- Melakukan ‘pijat’ rahim. Dokter akan meletakkan satu tangan di vagina dan tangan lainnya menekan rahim melalui dinding perut.
- Memberi obat oksitosin, prostaglandin, dan metilergonovina.
- Melakukan operasi untuk mengikat saluran darah.
- Menginjeksi partikel atau alat kecil ke dalam dinding uterina untuk memblokade aliran darah ke rahim. Alat yang dimasukkan misalnya kateter Foley, balon Bakri, dan kain kasa.
- Melakukan operasi pengangkatan rahim atau histerektomi sebagai jalan terakhir jika tidak ada lagi yang berhasil.
Demikian artikel mengenai atonia uteri. Mengingat atoni uteri adalah momok yang berbahaya bagi ibu melahirkan, pemahaman tentang penyakit ini perlu ditekankan. Semakin cepat antisipasi dilakukan, maka semakin baik pula penanganannya.